Search Menu

Gordel van Papier: Mengunjungi Pameran Literasi di Huis van het Boek

Dark Light

“Cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada,” kata Rene Descartes, yang kemudian sering dimodifikasi menjadi “aku menulis, maka aku ada” oleh beberapa mahasiswa sejarah untuk menunjukkan bahwa hasil pemikiran akan sia-sia jika tidak ditulis.

Tradisi menulis, bagi beberapa orang, merupakan bentuk kemajuan peradaban. Dengan menulis, beberapa komunitas mendokumentasikan dan menunjukkan, bahkan membuktikan, eksistensi mereka. Berbeda dengan tradisi lisan, menulis dianggap lebih menjanjikan keabadian karena manuskrip, buku, dan bahan pustaka lainnya dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama. Selain itu, tulisan juga seringkali dipandang lebih kredibel dalam memberikan gambaran dibandingkan dengan cerita lisan yang dicurigai berpotensi mengandung bumbu-bumbu tambahan dan bias.1

Tidak berhenti di tradisi tulis, penemuan mesin cetak menjadi milestoneselanjutnya dalam perkembangan peradaban manusia modern karena memungkinkan penyebaran informasi secara lebih luas dan masif. Di berbagai belahan dunia, keberadaan mesin cetak dan penerbitan menjadi simbol perubahan dan pemicu modernisasi.2 Contoh paling terkenal tentu saja cerita mengenai metode protes Marthin Luther kepada Gereja Katolik yang pada akhirnya merevolusi kehidupan masyarakat Eropa. Namun, ada satu contoh lain yang juga melekat di pikiranku: Dalam serial drama Korea Mr. Sunshine, keberadaan rintisan koran cetak yang diterbitkan oleh salah satu tokoh pro-kemerdekaan Korea menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran informasi sekaligus menjadi api yang membakar semangat nasionalisme pada awal abad ke-20. Semangat yang sama, di momen yang tidak jauh berbeda, juga hadir di Indonesia.

Dari Tradisi Lisan ke Tradisi Tulis
Perkembangan industri penerbitan di Indonesia hingga tahun 1957, serta relasi dan pengaruhnya terhadap meningkatnya minat baca dan nasionalisme merupakan hal-hal yang dihadirkan dalam pameran “Gordel van papier’ about the advent of the printed book in Indonesia”. Pameran itu diselenggarakan oleh Huis van het Boek, sebuah museum bagi para pecinta buku, yang berlokasi di Den Haag pada 22 September 2023 hingga 25 Februari 2024. Dari alur cerita, ini merupakan salah satu pameran paling menarik dan informatif yang pernah aku datangi karena tidak hanya menampilkan koleksi dan deskripsinya melainkan juga memberikan konteks yang menunjukkan bahwa dinamika industri percetakan di Indonesia bukanlah sebuah aktivitas sunyi yang teralienasi dari jalannya sejarah—ia justru merupakan salah satu instrumen pembentuk sejarah bangsa Indonesia.

Pameran dibuka dengan narasi perkenalan mengenai tradisi tulis-menulis di Indonesia. Kalau melihat lebih jauh ke belakang, tradisi tulis-menulis bukannya absen sama sekali dari masyarakat di Kepulauan Nusantara. Beberapa suku telah mengembangkan tradisi tulis dan aksara mereka, serta menghasilkan manuskrip-manuskrip yang memanfaatkan bahan natural sebagai media tulisnya. Hal tersebut terjadi jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang kemudian akan membawa serta perkembangan mesin cetak dan industri penerbitan. Namun, di tengah masyarakat yang kental dengan tradisi lisan, kegiatan tulis-menulis merupakan konsumsi terbatas beberapa kalangan. Prasasti, manuskrip, dan kitab-kitab seringkali dibuat sebagai bentuk legitimasi kuasa—fungsinya tidak jauh-jauh dari aspek politis, kalau bukan budaya. Hal itu cukup berbeda dengan tradisi tulis-menulis di Eropa yang, di masa yang sama, sudah berkembang ke arah praktis.

Sebagaimana kolonialisme “membantu” menyebarkan banyak hal, mulai dari ideologi, hewan, tanaman, hingga penyakit, ia juga “membantu” membawa percetakan dari Eropa ke Indonesia. Seperti disebutkan dalam pameran, “industri percetakan membawa dinamika baru” karena “memungkinkan produksi massal dan sirkulasi bahan pustaka ke seluruh penjuru kepulauan”. Inisiasi percetakan datang dari misionaris yang berkepentingan menyebarkan Katolik, salah satunya melalui distribusi cetakan. Mereka jugalah yang pertama-tama belajar bahasa-bahasa dan sistem tulis-menulis di Kepulauan Nusantara—lagi-lagi demi kepentingan penyebaran Injil. Kepentingan percetakan juga datang dari orang-orang Eropa yang melampiaskan kangen kepada kampung halaman dengan membaca buku-buku di kala santai. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memungkinkan industri percetakan tumbuh di Indonesia, khususnya di Jawa, dan hanya menunggu waktu sampai akhirnya orang-orang sadar bahwa industri tersebut merupakan sebuah celah ekonomi yang sangat menjanjikan. Sampai peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, percetakan, penerbit, dan toko buku menjamur di Hindia Belanda.

Pedang Bermata Dua: Duet Pendidikan ala Barat dan Industrialisasi Percetakan
Perkembangan industri percetakan tidak hanya berdampak pada melimpahnya bahan bacaan di Hindia, tetapi juga masuknya ide dan pemahaman baru. Dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah gaya Eropa—meskipun awalnya hanya ditujukan untuk kaum bangsawan, ketersediaan bahan bacaan merupakan combo pemicu muncul dan berkembangnya kesadaran nasionalisme dan banyak paradigma lainnya. Seperti yang dicatat oleh Gordiel van papier, “Printing played a crucial role in stimulating the political consciousness of the Indonesian people” (Percetakan memainkan peran penting dalam merangsang kesadaran berpolitik orang-orang Indonesia). Tokoh-tokoh dan organisasi pergerakan memanfaatkan percetakan sebagai cara untuk menyebarluaskan pemikiran mereka; persis seperti yang digambarkan oleh drama Mr. Sunshine. Namun, saat Mr. Sunshine hanya menampilkan koran sebagai corong kabar gerakan Pasukan Kebenaran, para nasionalis di Indonesia menuangkan pemikiran mereka melalui berbagai media cetak; Gordiel van papier menampilkan “Als ik eens Nederlander was…” (1913) karya Suwardi Suryaningrat (populer di Indonesia dengan nama Ki Hajar Dewantara), juga menyebut Tan Malaka sebagai tokoh pertama di Indonesia yang mengekspresikan konsep Republik Indonesia secara tertulis melalui karyanya, Naar de “Republiek Indonesia” (1925).

Sayangnya, yang tidak disebutkan dalam pameran, combo pendidikan ala Eropa dan industrialisasi percetakan di Indonesia masa kolonial tidak hanya mendatangkan dampak baik bagi pertumbuhan nasionalisme, melainkan juga efek negatif pada penguatan kultur elitis yang sudah hadir. Faktanya, meskipun ketersediaan bahan pustaka cetak semakin masif, hanya segelintir orang Indonesia yang bisa membaca—sebagian besar dari kelompok itu adalah kaum bangsawan, atau setidaknya golongan ekonomi berada. Hal tersebut juga berlaku bagi akses kepada edukasi masa kolonial yang juga terbatas hanya untuk kaum bangsawan, tanpa memberi ruang bagi masyarakat jelata. Sampai proklamasi kemerdekaan pada 1945, kondisi tersebut tidak banyak berubah dan justru memperuncing elitisme. Sampai saat ini, masih terdapat tendensi di masyarakat Indonesia bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang mewah dan orang-orang yang bisa mengakses pendidikan tinggi adalah kaum yang memiliki hak istimewa.

Balai Pustaka dan Literasi Indonesia
Munculnya kesadaran mengenai bangsa dan nasionalisme di kalangan terpelajar Indonesia tentu saja bukanlah hal yang diharapkan pemerintah kolonial. Untuk mengintervensi sirkulasi bahan cetak yang berbau revolusioner, pemerintah kolonial melaksanakan program “edukasi populer” melalui penerbitan buku-buku berbahasa Melayu dan jurnal Sri Poestaka oleh Balai Pustaka—lembaga yang sebelumnya bernama Commissie voor de Volkslectuur (berdiri 1908), sebelum berganti nama pada 1917. Dalam historiografi Indonesia pascakolonial, Balai Pustaka sering dikatakan memainkan peran penting bagi perkembangan dunia sastra modern di Indonesia, terutama karena penggunaan bahasa Indonesia dalam karya-karya yang diterbitkan (SNI Jilid VI, hlm. 291). Beberapa penulis legendaris, seperti Abdul Muis (Salah Asuhan, 1928), Marah Rusli (Siti Nurbaya, 1922), dan Merari Siregar (Azab dan Sengsara, 1920), sangat aktif menerbitkan buku di bawah label Balai Pustaka hingga memperoleh predikat sebagai sastrawan “Angkatan Balai Pustaka” yang merujuk pada periodisasi perkembangan sastra sejak 1920 hingga 1932. Ciri khas para penulis dari kelompok tersebut, menurut Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, terletak pada kritik sosial yang dibawa dalam karya-karyanya.3

Namun, seperti disebutkan dalam pameran, peran Balai Pustaka sebelum kemerdekaan Indonesia justru tidak selalu sejalan dengan semangat nasionalisme. Penerbitan buku-buku berbahasa daerah, seperti Jawa dan Sunda, oleh Balai Pustaka dikritik sebagai promotor sentimen kesukuan. Sementara itu, penggunaan bahasa Melayu dalam terbitan-terbitan Balai Pustaka juga sering dikritik—dianggap palsu dan kaku karena kurang terhubung dengan bahasa-bahasa lisan yang aktif digunakan masyarakat kebanyakan. Mungkin ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Melayu yang berbunga-bunga dan terlalu puitis. Setelah kerusuhan pada 1926, Balai Pustaka juga secara aktif melakukan sensor terhadap topik-topik khusus (Teeuw, 1972: 120-121). Monopoli dan represi dalam bidang percetakan yang hadir bersama dengan Balai Pustaka merupakan konsekuensi dari statusnya sebagai lembaga pemerintah.

Meksipun mendapat kritik, keberadaan Balai Pustaka dan perannya terhadap perkembangan bahasa dan literasi di Indonesia tidak bisa diabaikan. “Baik bahasa Indonesia maupun literatur modern di Indonesia tidak akan seperti saat ini tanpa ada pondasi yang didirikan oleh Balai Pustaka,” kata Teeuw sebagai penutup tulisannya.

Sejarah bukanlah representasi “benar dan salah” atau “menang dan kalah” semata—ia adalah kelindan dari berbagai aspek peristiwa yang membentuk satu garis yang saling berkaitan. Gordel van papier berhasil menunjukkan bahwa perkembangan percetakan dan literasi di Indonesia memiliki konteks yang sangat penting dan menarik jika pembelajar sejarah melepaskan kacamata hitam-putih dalam memandang sejarah. Sejarah percetakan, pendidikan, dan literasi di Indonesia sangat dipengaruhi (dan juga dirangsang) oleh kolonialisme adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah—begitu pula dengan berbagai hal lain yang hadir dan membentuk bangsa Indonesia bersamaan dengan kolonialisme Eropa. Kehadiran percetakan dan buku-buku bacaan di Indonesia, meskipun awalnya tidak inklusif, merupakan titik tolak penting dalam perjalanan panjang perkembangan literasi di Indonesia di kemudian hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Total
0
Share